PERMAINAN ?

Kini hanya ada sisa-sisa kesepian yang mencoba dikais oleh kehampaan yang sarat dan menyayat. 

Hanya ada sedikit tinta bolpoin yang tersisa dan rautan pensilmu di atas kertas yang sedari tadi kita isi, namun tak pernah penuh.

Bila suatu hari nanti kau akan kembali padaku dan ingin mengisi kalimat rumpang yang dulu kusisakan untukmu, 

Biarkan aku menyadari bahwa semua ini hanyalah kebetulan yang pernah terjadi di antara kita.

Dan biarkan aku menyadari bahwa menggenapkan ganjilmu hanyalah suatu kemustahilan yang tak hendak bermain dengan tangan dan jari-jari yang diam-diam mematahkan dirinya sendiri. 

Bila suatu saat nanti ada yang ingin kau tanyakan pada permainan kata kita berhari-hari yang lalu, tangguhkan dulu.

Biarkan aku menyadari bahwa semua kata-kata yang pernah tercipta hanyalah permainan dan bukanlah harapan yang ingin diwujudkan.

Anggap saja tak pernah ada bolpoin dan percakapan kita yang tak pernah usai.

Saranku, jangan pernah mencoba kembali.

:sedang mencoba menaklukkan kau

-dari Aku yang sedang berjuang
#untukfisikayangbeluminginselesai

PELANGI #2–JINGGA

Aku pernah mengenal perihal aku yang pernah dilukiskan di hangat rengkuh tanganmu. Aku hidup dalam genggaman jemari yang senantiasa terisi beban hidup yang tak pernah jemu mempermainkan hidupmu.

Beratus ribu hari aku tumbuh pada jiwamu dan mencoba mekar sebagai seekor kupu-kupu bersayap kaca: begitu rapuh. Kau menjelma sebagai kecemasan kecemasan yang dikemas sepi dalam rangkai kata hati. Dan aku selaik kaca sungguhan dalam percaturan dunia. 

Aku pernah menjadi kaki langit saat menantimu pulang dan menyaksikan kau duduk di beranda setiap pukul 5 sore sambil mencabut satu persatu rumput liar yang tumbuh di lemah lenganmu dan payah kakimu. 

Dan tanpa sadar kau melukis aku menjadi JINGGA.

:terimakasih telah menjadi bara untukku

PELANGI #1–MERAH

Suatu ketika aku ingin tumbuh menjadi untaian permen kapas di kepalamu, halus dan berwarna putih. Kau berkata bahwa itu perak, tapi bagiku itu kanvas putih bersih yang sering kulihat di toko alat tulis.

Suatu ketika aku ingin pindah rumah ke dalam bening matamu yang selalu memantulkan bayangan tentangku. Aku melihatnya sebagai kaca yang berpendar.

Suatu ketika aku juga ingin singgah ke dalam basah bibirmu yang senantiasa menyampai duka ke angkasa. Namaku selalu tumbuh disana dan berguguran sepanjang musim.

Aku ingin menetap di hangat tanganmu dan lahir sebagai lukisan di atas kanvas yang masih baru. Aku ingin mengalir bersamaan dengan warna kuning dan biru atau mungkin hitam pada gosong panci pagi itu.

Aku hanya ingin berkata:

Terima kasih telah melahirkanku sebagai MERAH 

:masih ingin dilukiskan kau

RACAU RACUN

Aku adalah yang bertanggung jawab atas hilangnya kau pada diriku. Aku bukanlah kesaksian yang sia-sia atas kita. Tapi kau adalah kekuatan magis yang tak mampu dibendung. Kau adalah racau yang tak hendak dikacau.

Aku adalah yang bertanggung jawab atas perginya kau dari diriku. Aku tak tahu menahu perihal kejanggalan yang kerap diganjal oleh keganjilan yang kau ciptakan.

Aku adalah yang bertanggung jawab atas matinya kau dalam diriku. Aku akan memakamkanmu lewat sajak yang kuselundupkan lalu lahir dari persetubuhanku dengan pena malam tadi.

Tapi kau adalah kelangkaan yang menjadi candu meski kelekangannya menjadi racun.

:aku pula sedang meracaukan kau

maaf, repost😂 entah taktau kenapa pos yang lama kehapus 😅

MATA DAN BIBIRMU

[1]

Aku masih ingat, semesta di matamu pernah berkata padaku perihal kerinduan. Perihal perih yang mengingatkanku pada setiap kesetiaan yang selalu basah di bibirmu. 

[2]

Aku pernah membawa api, tetapi bibirmu terkatup rapat tak pernah ingin tahu apa yang sudah kubakar. Aku pernah membawa air, tetapi kau berpaling dan mengendapkan bayangan pada jernih cermin di mataku.

[3]

Entah debu mana yang mengaburkan cahaya di matamu, menjadikan bayangku sebagai abu yang seolah-olah tak pernah singgah dan tak pernah memberi warna. Ini bibirmu masih kugenggam, dengan rantai tak terlihat yang bisa menenggelamkan bayangmu, menjadi aku.

:kau yang pernah memohon semua kata menjadi kita

MALAM, HUJAN, DAN PERCAKAPAN

1//

Malam masih saja selarut ini, tapi aku masih saja menantikan petik gitar yang tak akan pernah untukku. Ini bukan melulu tentang langkah kakiku yang terhenti tapi tak mampu berpaling, melainkan ini tentang kita yang badainya takkunjung mereda.

2//

Ini adalah percakapan malam kepada bulan, tentang keresahannya yang diabadikan angin pada larut carut marut yang segera habis menuju fajar. Tentang sajak dan tentang kata-kata yang tak tersampai kepada tanah yang sangsi kepada hujan waktu itu; hari itu.

3//

Adalah hari dimana aku menggenggam payung dengan tanganku sendiri dan menyadari bahwa sebenarnya tak pernah ada malam, hujan, atau bahkan percakapan.

:untuk kau, pada hari itu.

HAL YANG SEHARUSNYA TAK DIINGAT

Aku ada diantara pagi dan malam

Memoar kau datang,

menggenggam tanganku yang takkukenali

Kau bukan kau yang pernah kukenal

Jarum jam adalah tubuhmu 

dan kau adalah masa yang pernah tertebas pedang

Itukah kau?

Kau menjawab “bukan”, 

tapi kau memintaku menelan bara

Dan bodohnya aku menurut saja

Kemana perginya angka-angka pada jam di tubuhmu?

Aku tak ingat, Tertelankah?

​KATA-KATA

Seringkali malam jatuh di kubangan,
setelah diam-diam mengintip bulan yang sedang mandi di halaman.

Tetes-tetes air dari tubuhnya,

diendapkan sepi menjadi kata-kata tak berwarna

yang begitu sulit dikecup.

Ruam-ruam hangat di jemarinya,

ditafsirkan dingin menjadi suara gambang yang gamang :

yang mencoba memusikkan aku, kau, atau kita

atau hanya kata-kata.

SEBOTOL CAHAYA SENJA

Hari libur mungkin lebih panjang 
daripada jangka dan penggaris yang menikam tumpukan buku di meja

Adakalanya pula waktu membasuh senja

agar segera menyembunyikan senyumnya

Ia adalah waktu,

yang senang menatap timbunan cahaya di kaki langit

Lalu ia mengambil sebagian cahaya itu,

ia simpan di botol cahaya yang biasa ia bawa sebelum tidur

Lalu ia berdoa di hadapan malam :

“Hei, aku sudah siap bertemu dalam mimpi”

Lalu malam tersenyum dan tidur bersamanya.

DUA KATA DALAM CERITA KITA

Keraguan menjalar di pagar rumahku,

kemarau yang hangat mengeringkan tubuhnya :

menjadi ketakutan-ketakutan yang hendak gugur setiap kali ia jatuh ke tanah.

Aku memungutnya dan memasukkannya ke rumah.

Kuseduh ketakutan itu dengan secangkir air mata sisa tadi malam.

Lalu dengan sendiri saja aku berkata,

“Aku adalah kesepian yang sedang rindu untuk pulang”

Lalu seseorang berkata dari negeri yang jauh,

“Pulanglah, kerinduan lebih merasa sepi tanpamu.”